Saturday, February 5, 2011

BAPAK PULANG JAM BERAPA ?


“Kapan Bapak mau pulang?”
“Mmmh?”
“Pulang… kapan Bapak pulang ?”
“Oh, ini masih pagi Nak, biarkan Bapak renggangkan badan dulu, kemarin sangat melelahkan, nanti saja tunggu matahari naik lebih tinggi, baru Bapak pulang”
            Bapak datang kemarin pagi. Paman-paman dan bibi-bibiku yang memintanya untuk bertandang ke Bandung ini. Katanya mau menyelesaikan soal harta waris kakek yang sudah meninggal tiga tahun lalu. Bukan karena harta tersebut terlalu banyak hingga butuh waktu berlarut-larut untuk membagikannya. Urusan memanjang lebih karena ego masing-masing anak.
Kujemput Bapak di terminal dan langsung mengantarkannya ke rumah salah satu pamanku. Lucu, sebelum masuk rumah paman, Bapak merogoh tas dan mengenakan dulu sebuah jam tangan perak di pergelangan kirinya (aku menyebutnya jam tangan sakti !). Satu-satunya jam tangan kebanggaan kakek yang diberikannya pada Bapak, si anak kesayangan. Bagi Bapak, jam tersebut menjadi semacam tanda legitimasi, dengan menggunakannya, secara tersirat Bapak mencoba mengatakan pada paman dan bibi; “Meski aku bungsu, kakak-kakak sebaiknya lebih mendengarkan perkataanku, sebab aku adalah anak emas ayah !”.
Aku tidak menemani Bapak di sana, sebab aku harus masuk kuliah. Rencana awal, sorenya, Bapak akan kujemput dan dibawa ke terminal untuk pulang ke Sukabumi. Aku ke rumah paman selepas Ashar dan kudapati rupanya debat harta waris itu belum selesai. Menjelang Isya, barulah tercapai kata mufakat. Bapak enggan pulang malam itu, lagi pula aku juga mencegahnya. Paman tawari untuk menginap di rumahnya, Bapak menolak. Ia beralasan ingin tidur bersamaku, di kosanku. Aku senang Bapak mau tidur di kosanku (karena kupikir tadinya Bapak akan lekas-lekas pulang keesokan paginya).
           
            “Hampir siang Pak”
            “Ya ?”
            “Katanya Bapak mau pulang ?”
            “Mmm… masih malas, tanggung, Bapak shalat dzuhur saja dulu di sini”
            Perasaanku mulai gusar. Bapak masih saja berbaring malas-malasan sambil menonton televisi. Tadi malam ia bilang akan pulang pagi-pagi benar. Sesudah datang pagi, ia katakan agak siang sedikit. Sekarang mendekati siang, Bapak ingkari lagi ucapannya sendiri. Aku berharap, setelah tiba waktu dzuhur nanti, Bapak betul-betul akan pulang.
* * *

            “Sudah jam setengah tiga Pak”
            “…….”
            “Pak ?”
            “Jam berapa ?”
            “Setengah tiga, Pak”
              Bapak menggeliat. Usai shalat, Bapak merebahkan diri di atas sejadah. Lambat-lambat matanya mengatup, Bapak tertidur dengan pulas. Hendak kubangunkan tapi tak tega dan kurasa itu juga perbuatan kurang sopan, ya kan ? (tapi tidak kubangunkan, hatiku malah gemas). Akhirnya aku menunggu saja Bapak bangun sendiri. Jarum jam terus maju berputar seiring perasaanku yang juga terus menginginkan Bapak cepat bangun lalu pulang. Semakin lama, dengkur Bapak semakin terdengar nikmat. Kalau begini, bisa-bisa nanti sore Bapak baru bangun (gawat !). Sembari merasa sungkan bercampur cemas, kuberanikan juga akhirnya untuk menepuk-nepuk bahu Bapak, membangunkan dan mengingatkannya untuk pulang.
            “Pak… “
            “Ya, ya, pulang, Bapak tahu kamu pasti bertanya soal itu Nak”
            “Nanti keburu sore Pak, itu saja”
            “Aneh, Bapak malah mengantuk, bikinkan dulu kopi”
            Jika kutolak, aku takut Bapak murka. Dalam benak aku berpikir optimis saja kalau Bapak kali ini benar-benar akan pulang setelah minum kopi. Aku segera laksanakan titah itu. Kopi terhidang namun Bapak tak meminumnya terburu-buru seperti yang biasanya kulihat di rumah. Bapak diamkan kopi itu menghangat, benar-benar tak biasa. Aku mulai berpikir jika Bapak sengaja mengulur waktu. Batang rokok kretek yang kedua disulut dan belum sedikitpun kopi itu diteguk (perlahan aku mulai jengkel).
            “Betul kau tidak ada kuliah hari ini ?”
            “Iya, hari ini jadwal kosong”
            “Ada tugas yang harus dikerjakan ?”
            “Tidak ada”
            “Ada janji kerja kelompok dengan temanmu atau lainnya ?”
            “Tidak juga”
            “Kau risih Bapak ada di sini ?”
            “Masak saya risih sama Bapak sendiri”
“Bapak merepotkan ya ?”
            “Hahaha… sama sekali tidak Pak, apanya yang merepotkan ?”
            “Jadi kenapa Bapak harus cepat-cepat pulang ?”
“Yaaa… eee… cuma… cuma khawatir kalau Bapak pulang terlalu sore”
“Kalau begitu Bapak bermalam lagi saja di sini sehari lagi, ini kan sudah sore, boleh ?”
Aku menjawabnya dengan senyum lebar sambil mengangguk-angguk antusias (dalam hati sebenarnya aku sangat kecewa dengan permintaan Bapak tersebut)
* * *

Tidak bisa kusembunyikan perubahan raut wajah yang tiba-tiba gembira. Hati ini menjerit; “Akhirnya !”. Aku berharap Bapak tidak menyadarinya. Jam menunjukkan pukul lima sore, mendadak Bapak memintaku untuk membawanya ke terminal. Tak bisa lagi aku bermain peran, kubilang tadi bahwa aku khawatir jika Bapak pulang terlalu sore. Tapi kini, setelah si “terlalu sore” itu tiba, sama sekali aku tidak menahan Bapak, aku malah bergegas. Sepanjang perjalanan, kupacu sepeda motor dengan kencang, mengejar waktu, seolah takut Bapak ketinggalan bus (padahal semua juga tahu, keberangkatan terakhir bus Bandung-Sukabumi itu pukul 9 malam nanti, jadi sebetulnya tak perlu aku bercepat-cepat). Aku tidak tahu apakah Bapak mengetahui gelagat terburu-buruku ini atau tidak.

* * *

            Kembali ke kosan dengan perasaan lega. Di atas meja aku melihat jam tangan perak Bapak tertinggal. Aku tidak begitu peduli karena saat ini aku tengah bersiap-siap menerima seorang tamu spesial. Seorang tamu yang sedari pagi tadi terus menanyakan; “Sayang, apa nanti malam kita akan merayakannya sesuai rencana ?”. Hatiku berbunga-bunga.

* * *

            Pukul 9 malam. Jika perjalanan lancar, sekitar sejam yang lalu Bapak pasti sudah sampai di rumah. Dalam diam, telepon selulerku bergetar-getar minta diangkat (siapa pula itu yang telepon ? Ah ganggu saja !). Tak kuasa aku bangkit untuk meraihnya, sebab badan ini sedang ditindih kesenangan tingkat tinggi. Cahaya biru layarnya yang memancar, bagiku malah menambah nuansa romantis di tengah keremangan kamar kosku ini.
Kami usai, telepon itupun berhenti bergoncang, seolah sudah sehati dengan pemiliknya. Tiada niat untuk memeriksa siapa tadi yang menghubungi, karena aku sibuk bergombal ria di saat jeda rehat ini (terlintas di pikiran kalau si penelepon itu Bapak, kalau iya, ah paling kasih kabar sudah sampai rumah dan menanyakan; “Jam tangan Bapak ketinggalan di sana ya ?”).
Sejurus kemudian kasihku merajuk. Ranjang bergoncang kembali, demikian juga dengan teleponku (masih saja orang itu telepon ?!). Sedikitpun tak kulirik telepon itu, mataku terpaku pada ia yang menggigit bibir, membuatku makin gerah saja. Gong tamat babak kedua berbunyi, aku terkulai lemas. Sama sekali tak kuingat bahwa tadi selama perhelatan, ada orang yang berkeras ingin bicara di telepon.
Hampir saja aku terkantuk, wanitaku merengek, mau menampik tapi aku sudah janji akan berusaha sekuat mungkin di hari ulang tahunnya ini. Senang hati aku ladeni pintanya. Habis bagaimana lagi ? Kegilaan inilah yang ia inginkan sebagai hadiah. Memasuki permainan ketiga, tak kurasakan telepon seluler kembali ikut bergoyang bersama tuannya (kurasa si penelepon itu akhirnya menyerah).
Tiba-tiba ketukan pintu berkali-kali menginterupsi keasyikan kami. Untuk yang ini tidak bisa ditoleransi. Terpaksa aku berhenti di tengah-tengah. Malas, aku beranjak menuju pintu (siapa lagi ini ? si peneleponkah ? benar-benar ganggu !). Langkahku terhenti, seakan ada sesuatu yang mencekat di hatiku (bagaimana kalau yang di luar itu ternyata Bapak ?), rasa cemas mulai menjalar. Adalah sesuatu yang sangat mungkin, di tengah perjalanan Bapak memutuskan kembali ke sini hanya untuk mengambil jam tangan peraknya itu. Jantungku berdetak cepat (jam tangan sialan !). Jadi ingat aku akan kejadian setahun lalu, ketika kami sekeluarga berangkat ke pernikahan kerabat di Cirebon. Perjalanan telah sampai di Nagrek, 3 jam jauhnya dari Sukabumi, Bapak terpekik kaget karena jam tangan lupa dipakai. Bersikeras Bapak ingin kembali lagi ke rumah, kami melawan tapi percuma, mobil benar-benar Bapak putar balik ke Sukabumi (hanya untuk sebuah jam tangan !). Kutengok pacarku di belakang dengan wajah tegang. Pikiranku kalut, sementara itu ketukan semakin tak sabar (apa yang harus kukatakan pada Bapak ?!). Nyali ciut ke titik minus, tapi bagaimanapun juga, aku harus bukakan pintu.Aku berjalan menuju pintu dengan sangat perlahan, aku takut sekali kalau orang di luar itu benar-benar Bapak.
Kuintip dari balik gordyn yang sedikit kusingkap, (syukurlah !) ternyata kawan kosan terdekatku yang ada di luar sana. Perasaan ini langsung plong. Mengendur sudah otot-syaraf di sekujur badan.
Aku buka pintu selebar mukaku bisa menjulur keluar saja.
            “HP-mu mati ?”
            “Tidak”
            “Rusak ?”
            “Tidak”
            “Tahu ada yang telepon kau ?”
            “Ya, tapi belum kuperiksa. Kukira paling itu Bapakku yang hanya ingin mengabari kalau dia sudah sampai rumah atau menanyakan jam tangannya. Keluargaku meneleponmu ya ? Maaf kawan, aku segera telepon balik ke rumah sekarang juga, biar kesibukanmu tidak terganggu lagi” (Aku menanggapinya dengan tergesa-gesa, sebab aku ingin segera kembali bersenang-senang)
            “Benar, keluargamu meneleponku. Tidak ada soal jam tangan. Memang benar Bapakmu sudah sampai ke Sukabumi, tapi maaf sobat… bukan ke rumah melainkan ke rumah sakit” (Seketika itu juga aku langsung merasa impoten)

* * *

            Di salah satu kelokan jalan berliku Padalarang, selintas aku melihat bus pengantar maut itu masih menungging masuk jurang. Sekilas saja kulihat karena aku mengendarai sepeda motor bak orang kesurupan.
Begitu aku tiba, ibu dan kedua adikku langsung memburuku, lantas kami menangis dalam pelukan. Dokter dan perawat lalu lalang masuk ruang intensif perawatan darurat, sedangkan kami hanya diperkenankan menunggu di luar saja (menunggu dengan rasa cemas yang tak terkira nan menyakitkan !). Secercahpun tidak ada keinginanku untuk mengetahui separah apa kondisi Bapak apalagi tentang seberapa besar kesempatannya untuk terus hidup.
Kian lama, aku kian muak menunggu. Emosiku semakin bergejolak tak tertahan. Aku meronta dari dekapan ibu dan menerobos pintu. Sigap dua perawat langsung menahanku sedapat mungkin. Aku berontak, kerusuhan kecil terjadi. Kedua adikku menarik tubuhku keluar ruangan, sedang ibu histeris.
            “Bapak jangan pulang ! Bapak jangan pulang !” (Aku berteriak-teriak, kalap)
            Seorang dokter melintas dan menatapku dengan pandangan mengasihani.
            “Dokter katakan pada Bapakku; jangan pulang ! jangan pulang !” (Aku hanya ingin masuk ruangan dan membisikkannya langsung ke telinga Bapak, dengan tulus, amat tulus)
            “Jangan pulang Pak ! Jangan pulang !”
            “Semalam lagi, dua malam lagi, setahun lagi, kapanpun Bapak mau, Bapak bebas tidur di kosanku sepuasnya ! Tak usah pulang sekalian Pak ! Bapak jangan pulang !”
            “Bapak jangan pulang !”

5 comments:

  1. Cerita tentang bapak dengan anak laki-lakinya memang selalu menyentuh..
    akan tetapi unsur sensual nya agak sedikit mengganggu yah.. hehe

    nice story San, keep writing..

    ReplyDelete
  2. Hihihi setuju tuh ama kibol, bgian sensualnya agak sedikit mengganggu :D

    Tapi ebnar-benar menyentuh cerpennya kang Ihsan,,ditunggu cerpen selanjutnya :)

    ReplyDelete
  3. yang tersentuh sama bagian sensualnya berarti setidaknya anda pernah mengalami hal2 sensual tersebut, hihihihihi...

    nuhun ah sudah pada mampir !

    ReplyDelete
  4. Hiks,,terharu saya bacanya pak..
    :((
    Ternyata kata" yg bilang "you don't know what you got till it's gone" itu benar sekali..
    Tulisan yg bagus pak..
    Terus produktif ya dan jgn lupa kita doakan yg terbaik untuk kedua orang tua kita..

    ReplyDelete
  5. terima kasih atas puja-pujinya, sayang nih cerpen gak juara lomba waktu itu, hiks...

    Nuhun sudah datang !

    ReplyDelete