Judul : Celeng Satu Celeng Semua
(10 Cerpen Triyanto Triwikromo Pilihan Kompas 2003-2012)
Penulis : Triyanto Triwikromo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama (Cetakan
pertama, Juli 2013)
Tebal : 141 halaman
Entahlah. Bagi saya buku kumpulan cerpen ini ialah buku
yang memusingkan. Betapa tidak ?. Dari awal saja sudah dibuka oleh pengantar
yang rumit. Adalah Manneke Budiman yang pada saat buku ini dicetak berkedudukan
sebagai Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI (Universitas Indonesia), yang
memberi sajian pembuka. Hampir tidak ada yang menempel sekalimatpun di jidat
saya dari pengantar Manneke yang bertabur kata-kata “ajaib” tersebut. Sisi
baiknya ialah dari pengantar yang sulit tersebut justru sedikit menumbuhkan
harapan; “Kalau yang mengantarnya saja sudah pakar, akademisi. Apalagi
bahasanya susah dimengerti, pasti ini barang oke punya !.”
Kemudian bertemulah saya dengan hidangan utama, sepuluh
cerpen Triyanto, satu per satu. Entah karena hallo effect, yakni terkena dampak kesan pertama buku ini yang
sudah membingungkan gara-gara pengantar Manneke, atau memang karena
cerpen-cerpen Triyanto itu tidak mudah dikunyah, yang saya rasakan tetap sama;
pusing. Tambah pusing malah !.
Seketika saya teringat pada buku kumpulan cerpen lain yang
dikeluarkan oleh penerbit Bentang Budaya yaitu “Laki-laki Lain Dalam Sepucuk Surat” karya
Budi Darma. Antara kedua buku kumpulan cerpen ini memiliki kesamaan dalam hal
membingungkan pembaca. Membuat kepala ini bertanya berkali-kali; “Apaan sih ?.” Jika meminjam istilah yang
belakangan trend di kalangan
anak-anak gaul; absurd. Ya, buku “Celeng
Satu Celeng Semua ini,” absurd. Totally absurd.
Cerpen Triyanto ibarat kanvas yang menampilkan lukisan
abstrak. Ketika kita mengamati dan menemukan di lukisan itu ada sebuah
lingkaran kuning cerah yang bentuknya mirip matahari, kitapun mulai bermain
tebak-tebakan; “Apakah maksud si pelukis itu memang menggambar sebuah matahari to’ atau dia mencoba menggambar sesuatu
lain yang dilambangkan oleh matahari ?.” Ah, membingungkan.
Akan tetapi Triyanto tentu tidak hanya menawarkan teka-teki
kepada pembaca. Melalui cerpennya, ia juga menyajikan sesuatu yang kurang ajar.
Sangat kurang ajar. Pujian saya tersebut merupakan kesimpulan dari tiga
cerpennya yang paling mudah saya telan dan oleh karenanya paling saya suka,
yaitu; Belenggu Salju, Iblis Paris dan Dalam Hujan Hijau Friedenau.
Cerpen Belenggu Salju
mengambil tempat di sebuah pemukiman kumuh orang-orang Negro bernama Compton di
Los Angeles, Amerika Serikat. Tokoh utamanya ada dua, yang satu adalah seorang
pria kelahiran Indonesia yang berkarir sebagai Deputy Sheriff Los Angeles dan satunya lagi, seorang perempuan
penari cabul keturunan Afrika-Meksiko. Anda lihat ?. Cerita terjadi antara pria
melayu dari Indonesia dengan perempuan afro-latin, di tengah orang-orang Negro.
Campur aduk.
Sedangkan Iblis Paris
dimainkan oleh seorang perempuan Bangladesh yang lama berkiprah di Myanmar,
dengan seorang pria keturunan Aljazair-Spanyol. Mereka berdua bermain di kota
Lyon, Prancis. Anda lihat ?. Jauh di Lyon sana, bertemu dua insan; yang satu
dari Myanmar namun aslinya Bangladesh, yang satu lagi orang Prancis non pribumi
berdarah Afrika-Eropa. Berantakan.
Adapun Dalam Hujan
Hijau Frideneau terjadi di Berlin, Jerman. Pemainnya adalah seorang
perempuan Yahudi-Jerman dan seorang pria komunis-Indonesia. Agak berbeda dengan
dua cerpen sebelumnya, pada cerpen ini yang menjadi kontras itu bukan ras melainkan
belief masing-masing pemainnya.
Para tokoh yang beraneka asal itu tidak muncul dan bertemu
begitu saja. Tentu ada riwayatnya. Sedikit-sedikit Triyanto menguak kenapa mereka
sampai bisa berkumpul di sana. Di satu sisi, penjelasan Triyanto ini
menjembatani common sense pembaca
dengan logika cerita. Di sisi lain, karena setiap tokoh membawa cerita
masing-masing, terciptalah cerita di dalam cerita. Dari segi konstruksi cerita
ini, saya setuju dengan Benny H. Hoed, Guru Besar Emeritus Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya UI yang komentarnya disimpan di jilid belakang buku bahwa; “Cerita
membangun cerita…… Di sinilah sebenarnya kelebihan seorang Triyanto. (yang)
Mungkin ia sendiri tidak menyadari hal ini……”.
Di ketiga cerpen tersebut juga muncul tokoh lain. Namun
tetap tokoh-tokoh tersebut bukan “asli orang situ” (setting tempat cerita berlangsung). Contohnya di Belenggu Salju, ada tokoh Gabriel Lee
yang muncul sebentar sebagai mitra kerja dari Tito sang Deputy Sheriff. Memang tidak diceritakan sama sekali siapa Lee, tapi
dari namanya saja kita bisa mengira-ngira kalau Lee sekalipun bukan asli orang
Amerika. Di cerpen Dalam Hujan Hijau
Frideneau muncul satu nama, Adele yang berperan sebagai istri Arok, pria
Indonesia yang ngungsi ke Jerman
karena ke-komunis-komunis-an. Secara terang disebut bahwa Adele ialah orang
Selandia Baru.
Kesimpulannya, Triyanto hanya meminjam tempat !. Di cerita
ber-setting Amerika Serikat, tidak
ada pemain dari orang asli Amerika (paling tidak orang kulit putih sebagai ras mayoritas,
meski bukan penghuni asli sana). Di cerita ber-setting Prancis, tidak juga ditemukan pemain yang murni keturunan
Prancis. Begitu pula di cerita ber-setting
Jerman, di mana orang asli peranakan Jerman-nya ? (tokoh ‘aku’ mungkin
peranakan Jerman tapi karena ke-Yahudi-annya, dia tidak diakui sebagai orang
Jerman).
Belum lagi bila menyoal inti cerita. Di Compton yang
tingkat kriminalitasnya tinggi, walau Triyanto memasukkan adegan kejar-kejaran
mobil serta tembak-tembakan ala film laga Amerika, dia tidak bicara soal
kejahatan. Di Lyon yang khidmat, Triyanto tidak membahas kesepian. Di Berlin
yang di sana segala bentuk seni memperoleh penilaian luhur, titik berat cerita
bukan perkara seni. Kriminalitas, pelarian atau seni, hanya sekedar nuansa yang
merupakan bawaan dari latar tempat. Sekali lagi, Triyanto hanya meminjam
tempat. Dan ini kurang ajar. Sangat kurang ajar.
Bagaimana dengan tujuh cerita lainnya ?. Selebihnya bagi
saya, cerpen-cerpen Triyanto itu hanyalah suatu misteri. Ada apa dengan PKI dan
peristiwa G30S-PKI bagi Triyanto ?, Kenapa baik secara tersurat ataupun
tersirat, berkali-kali fenomena tersebut dia angkat dalam cerita ?, Ada apa
dengan perumpamaan-perumpamaan yang selalu bawa-bawa malaikat ?, Tidak bisakah
Triyanto memilih nama lain yang lebih pantas untuk tokoh pria dari pada Siti ?,
Apakah hal itu ada hubungannya dengan tokoh Hayati dan Maya yang…… kok agak-agak lesbi gitu ya ?, dan lain-lain. Bisa saja berupa-rupa analisa dibuat dan
dikembangkan. Pemikiran-pemikiran yang sangat mungkin Triyanto sendiri tidak
menduga ada yang kepikiran sampai
sejauh dan semendalam itu. Kalau mau puas, yang paling benar tentu bertanya
saja langsung pada si penulisnya, Triyanto.
Di ujung, buku ditutup dengan uraian Tia Setiadi, pemenang
utama Sayembara Essai Anugerah Satra Pena Kencana, yang panjangnya lima kali
lebih banyak dari tulisannya Manneke. Bahkan lebih panjang juga dari cerpen-cerpen
Triyanto sendiri yang rata-rata sebanyak 10 halaman per cerita. Sudah panjang, njlimet pula. Jadi, buku dibuka dan
ditutup dengan cara yang memusingkan. Lengkap sudah kepusingan pembaca. Andaikata
saya menjadi Pemimpin Redaksi Gramedia Pustaka Utama, maka saya akan menyentil
kedua orang itu. Dengan isi cerpen Triyanto yang perlu dipikir lambat-lambat
baru ketemu insight-nya, ulah kedua
orang pintar tersebut bisa membuat buku menjadi tidak laku. Mereka harus paham
bisnis, harus paham bahwa buku Triyanto dijual umum di bawah kategori fiksi/
cerpen, bukan modul perkuliahan.
Rekomendasi ?
Apabila anda memiliki karakter seperti saya, yakni tipe
pembaca yang sekedar hobi baca, senang membaca sekedar agar ada asupan “vitamin”
buat otak, suka membaca sekedar mengusir kebosanan di waktu-waktu kosong, maka
saya berani sumpah anda akan merasa rugi membeli buku ini. Untuk kasus saya
sendiri, Alhamdulillah saya tidak
sampai merasa rugi karena buku luar biasa ini saya dapat dengan harga yang
lebih murah dari sebungkus rokok, di stand
obral buku yang sepi, di sebuah pasar swalayan. Akan tetapi jika anda
seorang pengkaji atau penggiat sastra, seni-budaya atau mungkin filsafat, buku
ini bagus untuk anda miliki. Terlebih bila anda seorang yang sedang
meng-eksplor gaya menulis, gaya bersastra, membaca bukan sekedar baca melainkan
anda tengah mencari referensi metode menulis atau bercerita yang hebat
(khususnya cerpen), maka buku ini wajib anda miliki. Selain anda bisa
mencermati bagaimana Triyanto membangun sebuah cerita, essai Tia Setiadi yang
kurang membumi itu memberikan anda petunjuk yang sangat berarti tentang teori
menulis.
Nah,
silakan………
Saya malah kenal pak Manneke ketika tampil di diskusi pada acara Asean Literary Festival.
ReplyDeleteNah pas di acara festival itu memusingkan gak Mbak Ipeh ? hihihihihi...
Delete