Thursday, March 17, 2016

BERANTAKAN YANG INDAH




Judul                    : Celeng Satu Celeng Semua (10 Cerpen Triyanto Triwikromo Pilihan Kompas 2003-2012)
Penulis                : Triyanto Triwikromo
Penerbit               : Gramedia Pustaka Utama (Cetakan pertama, Juli 2013)
Tebal                    : 141 halaman


          Entahlah. Bagi saya buku kumpulan cerpen ini ialah buku yang memusingkan. Betapa tidak ?. Dari awal saja sudah dibuka oleh pengantar yang rumit. Adalah Manneke Budiman yang pada saat buku ini dicetak berkedudukan sebagai Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI (Universitas Indonesia), yang memberi sajian pembuka. Hampir tidak ada yang menempel sekalimatpun di jidat saya dari pengantar Manneke yang bertabur kata-kata “ajaib” tersebut. Sisi baiknya ialah dari pengantar yang sulit tersebut justru sedikit menumbuhkan harapan; “Kalau yang mengantarnya saja sudah pakar, akademisi. Apalagi bahasanya susah dimengerti, pasti ini barang oke punya !.”

          Kemudian bertemulah saya dengan hidangan utama, sepuluh cerpen Triyanto, satu per satu. Entah karena hallo effect, yakni terkena dampak kesan pertama buku ini yang sudah membingungkan gara-gara pengantar Manneke, atau memang karena cerpen-cerpen Triyanto itu tidak mudah dikunyah, yang saya rasakan tetap sama; pusing. Tambah pusing malah !.
          Seketika saya teringat pada buku kumpulan cerpen lain yang dikeluarkan oleh penerbit Bentang Budaya yaitu “Laki-laki Lain Dalam Sepucuk Surat” karya Budi Darma. Antara kedua buku kumpulan cerpen ini memiliki kesamaan dalam hal membingungkan pembaca. Membuat kepala ini bertanya berkali-kali; “Apaan sih ?.” Jika meminjam istilah yang belakangan trend di kalangan anak-anak gaul; absurd. Ya, buku “Celeng Satu Celeng Semua ini,” absurd. Totally absurd.
          Cerpen Triyanto ibarat kanvas yang menampilkan lukisan abstrak. Ketika kita mengamati dan menemukan di lukisan itu ada sebuah lingkaran kuning cerah yang bentuknya mirip matahari, kitapun mulai bermain tebak-tebakan; “Apakah maksud si pelukis itu memang menggambar sebuah matahari to’ atau dia mencoba menggambar sesuatu lain yang dilambangkan oleh matahari ?.” Ah, membingungkan.
          Akan tetapi Triyanto tentu tidak hanya menawarkan teka-teki kepada pembaca. Melalui cerpennya, ia juga menyajikan sesuatu yang kurang ajar. Sangat kurang ajar. Pujian saya tersebut merupakan kesimpulan dari tiga cerpennya yang paling mudah saya telan dan oleh karenanya paling saya suka, yaitu; Belenggu Salju, Iblis Paris dan Dalam Hujan Hijau Friedenau.
          Cerpen Belenggu Salju mengambil tempat di sebuah pemukiman kumuh orang-orang Negro bernama Compton di Los Angeles, Amerika Serikat. Tokoh utamanya ada dua, yang satu adalah seorang pria kelahiran Indonesia yang berkarir sebagai Deputy Sheriff Los Angeles dan satunya lagi, seorang perempuan penari cabul keturunan Afrika-Meksiko. Anda lihat ?. Cerita terjadi antara pria melayu dari Indonesia dengan perempuan afro-latin, di tengah orang-orang Negro. Campur aduk.
          Sedangkan Iblis Paris dimainkan oleh seorang perempuan Bangladesh yang lama berkiprah di Myanmar, dengan seorang pria keturunan Aljazair-Spanyol. Mereka berdua bermain di kota Lyon, Prancis. Anda lihat ?. Jauh di Lyon sana, bertemu dua insan; yang satu dari Myanmar namun aslinya Bangladesh, yang satu lagi orang Prancis non pribumi berdarah Afrika-Eropa. Berantakan.
          Adapun Dalam Hujan Hijau Frideneau terjadi di Berlin, Jerman. Pemainnya adalah seorang perempuan Yahudi-Jerman dan seorang pria komunis-Indonesia. Agak berbeda dengan dua cerpen sebelumnya, pada cerpen ini yang menjadi kontras itu bukan ras melainkan belief masing-masing pemainnya.
          Para tokoh yang beraneka asal itu tidak muncul dan bertemu begitu saja. Tentu ada riwayatnya. Sedikit-sedikit Triyanto menguak kenapa mereka sampai bisa berkumpul di sana. Di satu sisi, penjelasan Triyanto ini menjembatani common sense pembaca dengan logika cerita. Di sisi lain, karena setiap tokoh membawa cerita masing-masing, terciptalah cerita di dalam cerita. Dari segi konstruksi cerita ini, saya setuju dengan Benny H. Hoed, Guru Besar Emeritus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI yang komentarnya disimpan di jilid belakang buku bahwa; “Cerita membangun cerita…… Di sinilah sebenarnya kelebihan seorang Triyanto. (yang) Mungkin ia sendiri tidak menyadari hal ini……”.
          Di ketiga cerpen tersebut juga muncul tokoh lain. Namun tetap tokoh-tokoh tersebut bukan “asli orang situ” (setting tempat cerita berlangsung). Contohnya di Belenggu Salju, ada tokoh Gabriel Lee yang muncul sebentar sebagai mitra kerja dari Tito sang Deputy Sheriff. Memang tidak diceritakan sama sekali siapa Lee, tapi dari namanya saja kita bisa mengira-ngira kalau Lee sekalipun bukan asli orang Amerika. Di cerpen Dalam Hujan Hijau Frideneau muncul satu nama, Adele yang berperan sebagai istri Arok, pria Indonesia yang ngungsi ke Jerman karena ke-komunis-komunis-an. Secara terang disebut bahwa Adele ialah orang Selandia Baru.
          Kesimpulannya, Triyanto hanya meminjam tempat !. Di cerita ber-setting Amerika Serikat, tidak ada pemain dari orang asli Amerika (paling tidak orang kulit putih sebagai ras mayoritas, meski bukan penghuni asli sana). Di cerita ber-setting Prancis, tidak juga ditemukan pemain yang murni keturunan Prancis. Begitu pula di cerita ber­-setting Jerman, di mana orang asli peranakan Jerman-nya ? (tokoh ‘aku’ mungkin peranakan Jerman tapi karena ke-Yahudi-annya, dia tidak diakui sebagai orang Jerman).
          Belum lagi bila menyoal inti cerita. Di Compton yang tingkat kriminalitasnya tinggi, walau Triyanto memasukkan adegan kejar-kejaran mobil serta tembak-tembakan ala film laga Amerika, dia tidak bicara soal kejahatan. Di Lyon yang khidmat, Triyanto tidak membahas kesepian. Di Berlin yang di sana segala bentuk seni memperoleh penilaian luhur, titik berat cerita bukan perkara seni. Kriminalitas, pelarian atau seni, hanya sekedar nuansa yang merupakan bawaan dari latar tempat. Sekali lagi, Triyanto hanya meminjam tempat. Dan ini kurang ajar. Sangat kurang ajar.
          Bagaimana dengan tujuh cerita lainnya ?. Selebihnya bagi saya, cerpen-cerpen Triyanto itu hanyalah suatu misteri. Ada apa dengan PKI dan peristiwa G30S-PKI bagi Triyanto ?, Kenapa baik secara tersurat ataupun tersirat, berkali-kali fenomena tersebut dia angkat dalam cerita ?, Ada apa dengan perumpamaan-perumpamaan yang selalu bawa-bawa malaikat ?, Tidak bisakah Triyanto memilih nama lain yang lebih pantas untuk tokoh pria dari pada Siti ?, Apakah hal itu ada hubungannya dengan tokoh Hayati dan Maya yang…… kok agak-agak lesbi gitu ya ?, dan lain-lain. Bisa saja berupa-rupa analisa dibuat dan dikembangkan. Pemikiran-pemikiran yang sangat mungkin Triyanto sendiri tidak menduga ada yang kepikiran sampai sejauh dan semendalam itu. Kalau mau puas, yang paling benar tentu bertanya saja langsung pada si penulisnya, Triyanto.
          Di ujung, buku ditutup dengan uraian Tia Setiadi, pemenang utama Sayembara Essai Anugerah Satra Pena Kencana, yang panjangnya lima kali lebih banyak dari tulisannya Manneke. Bahkan lebih panjang juga dari cerpen-cerpen Triyanto sendiri yang rata-rata sebanyak 10 halaman per cerita. Sudah panjang, njlimet pula. Jadi, buku dibuka dan ditutup dengan cara yang memusingkan. Lengkap sudah kepusingan pembaca. Andaikata saya menjadi Pemimpin Redaksi Gramedia Pustaka Utama, maka saya akan menyentil kedua orang itu. Dengan isi cerpen Triyanto yang perlu dipikir lambat-lambat baru ketemu insight­-nya, ulah kedua orang pintar tersebut bisa membuat buku menjadi tidak laku. Mereka harus paham bisnis, harus paham bahwa buku Triyanto dijual umum di bawah kategori fiksi/ cerpen, bukan modul perkuliahan.
           
          Rekomendasi ?
          Apabila anda memiliki karakter seperti saya, yakni tipe pembaca yang sekedar hobi baca, senang membaca sekedar agar ada asupan “vitamin” buat otak, suka membaca sekedar mengusir kebosanan di waktu-waktu kosong, maka saya berani sumpah anda akan merasa rugi membeli buku ini. Untuk kasus saya sendiri, Alhamdulillah saya tidak sampai merasa rugi karena buku luar biasa ini saya dapat dengan harga yang lebih murah dari sebungkus rokok, di stand obral buku yang sepi, di sebuah pasar swalayan. Akan tetapi jika anda seorang pengkaji atau penggiat sastra, seni-budaya atau mungkin filsafat, buku ini bagus untuk anda miliki. Terlebih bila anda seorang yang sedang meng-eksplor gaya menulis, gaya bersastra, membaca bukan sekedar baca melainkan anda tengah mencari referensi metode menulis atau bercerita yang hebat (khususnya cerpen), maka buku ini wajib anda miliki. Selain anda bisa mencermati bagaimana Triyanto membangun sebuah cerita, essai Tia Setiadi yang kurang membumi itu memberikan anda petunjuk yang sangat berarti tentang teori menulis.
          Nah, silakan………

2 comments:

  1. Saya malah kenal pak Manneke ketika tampil di diskusi pada acara Asean Literary Festival.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah pas di acara festival itu memusingkan gak Mbak Ipeh ? hihihihihi...

      Delete