Thursday, December 3, 2009

Naturally Based On Moral Guilty

Tahu saya (penulis) sedang menyusun skripsi dengan mencoba mengangkat variabel guilty feeling (perasaan bersalah), dengan usil seorang teman bertanya; “San, kenapa kalau abis (maaf) coli (istilah prokem untuk onani/masturbasi), gue suka ngerasa nyesel kayak udah ngelakuin dosa gimanaaa gitu, kenapa coba San ?”. Dengan kurang memuaskan saya menjawab bahwa rasa bersalahnya itu berasal dari keyakinan moralnya; diri sebagai subjek menghakimi diri sebagai objek atas dasar telah melakukan suatu perbuatan yang salah. Sesuai dugaan, ia pun kemudian mencecar saya dengan pertanyaan berikutnya; “Nah kalau keyakinan moral itu sendiri datangnya dari mana ?”. Secara singkat saya jawab bahwa moral belief datang dari lingkungan sebagai hasil dari pengajaran intensif dan pengamatan atas perilaku orang lain. Ia mengangguk-angguk tapi ekspresinya seperti yang belum menandakan kepuasan total. Akhirnya, malah saya yang giliran bertanya padanya; “Kok kayak yang belum ngerti ? Silakan aja tanya, selama saya bisa, ya saya jawab”. Teman saya itu lalu berkata; “Masalahnya rasa bersalah karena coli itu San bahkan muncul pada pengalaman pertama melakukannya, yang mana pada waktu itu pengetahuan seks biasanya baru sedikit sekali dan baru berdasarkan cerita kawan yang simpang siur. Malah seinget gue, gak pernah tuh orang tua gue atau siapapun itulah mengajarkan sedari dini kalo cari kepuasan seks dengan self-service itu secara moral tidak dibenarkan. Jadi, moral belief yang mana yang gue sandarkan untuk menilai kalau coli itu salah sehingga gue merasa bersalah waktu itu San ?. Bukan gue aja loh San, semua yang pernah coli juga kayaknya ngerasa hal yang sama deh !”. Diberi argumen seperti itu, sayapun berpikir agak mendalam. Asal jawab (terlepas dari betul-tidaknya Bhs. Inggris-nya dan ada-tidaknya konsep ini dalam teori), saya mengatakan; “Itulah yang disebut merasa bersalah secara moral yang timbul dengan alamiah atau disebut juga naturally based on moral guilty.

Bandura mencoba menjelaskan perasaan bersalah karena masturbasi ini dari sisi toilet training sewaktu kita kecil dulu. Namun, soal ini Bandura banyak mendapat kritikan, karena penjelasannya dianggap “menggantung” serta tidak mennguraikan mekanismenya dengan jelas.

Freud mengatakan bahwa rasa bersalah ialah hasil dari konflik antara Ego (sebagai eksekutor perilaku) dengan Superego (sebagai wasit perilaku). Melalui proses introjeksi, seseorang menginternalisasikan norma-norma dari lingkungan sosialnya terutama dari figur-figur terdekat, yakni orang tua. Dasar seseorang untuk mematuhi norma-norma tersebut ialah perasaan takut hukuman (fear of punishment). Mulanya hukuman tersebut berupa individu merasa dijauhi dan ditolak, atau secara fisik dihukum oleh figur yang dekat dengannya, karena telah melakukan sesuatu perbuatan yang di luar kehendak si figur. Kemudian, seiring pertambahan usia terus berkembang hingga menjadi takut di-reject atau dihukum oleh lingkungan sosial. Mekanisme inilah yang membangun moral belief pada diri seseorang. Rasa bersalah sering juga disebut Freud sebagai akibat dari kesadisan Superego (the sadistic superego) dalam menghakimi Ego. Dalam kasus-kasus patologi, justru Ego – yang sewajarnya takut akan Superego – malah mengidam-idamkan dihukum oleh Superego (desire of punishment).

Moral belief merupakan isu yang tidak bisa dikesampingkan dalam membahas tentang perasaan bersalah (Gary Scarborough, 1978). Untuk merasa bersalah atau tidak, seseorang secara logis mesti mendasarkan perilakunya kepada standar bertingkah laku tertentu. Standar itulah yang disebut moral belief. Oleh karenanya, Scarborough berpendapat bahwa rasa bersalah hanya mungkin timbul dari orang yang termotivasi secara moral (morally motivated individu). Adapun yang ia sebut dengan individu yang termotivasi secara moral ialah orang yang berusaha untuk berbuat benar dan menghindari kesalahan agar terhindar dari emosi yang tidak mengenakkan, yakni guilty feeling.

Ketika Freud menyatakan bahwa moral belief muncul dari introjeksi terhadap lingkungan, sehingga batasan benar-salahnya lebih kaku dan relatif jelas (kategorikal, contohnya; norma agama, hukum, susila, adat dll), Scarborough mencantumkan bahwa ada juga belief yang sifatnya hipotetikal; tanpa jelas dasarnya apa (norma agama, hukum, susila dsb) seseorang dapat merasa bersalah hanya karena “menghipotesiskan” kalau tindakannya tidak benar. Pada kasus seperti itu, motivasi individu untuk merasa bersalah dinamakan dengan motivasi non-moral.

Barang kali, perasaan bersalah karena masturbasi (yang sering diherankan orang-orang karena muncul seketika dan tiba-tiba) didasarkan pada hypothetical belief. Meski belum mengetahui apa hukumnya mastrubasi dalam agama, bagaimana pandangan masyarakat terhadap perilaku masturbasi, apa akibatnya bagi kesehatan dan lain-lain, individu (tiba-tiba) meyakini kalau masturbasi itu (sepertinya) merupakan suatu perbuatan yang tidak terpuji.

Puas dengan penjelasan yang hanya sampai titik itu ?

Seperti halnya saya, mungkin anda pun belum merasa puas. Anggap saja benar kalau rasa bersalahnya itu berdasar pada sesuatu yang hipotetis; individu sendiri tidak tahu secara pasti apakah tindakan kita sebenarnya benar atau tidak. Pertanyaan berikutnya ialah “Kenapa bisa muncul hipotetis seperti itu ?”. Akal pikiran dalam membentuk sebuah informasi hipotetis pasti mendasarkannya pada hal-hal tertentu, yakni pada informasi-informasi yang sebelumnya sudah tersimpan di memori. Contoh; saya tidak tahu secara pasti di mana letak Negara Tajikistan, namun dari namanya yang mirip-mirip Uzbekistan, Afghanistan, Turkmenistan, saya memunculkan jawaban sementara bahwa yang penting negara tersebut berada di wilayah Asia Utara, dekat-dekat Wilayah Rusia. Secara global benar, namun secara spesifiknya tidak jelas. Nah, sekarang atas dasar apakah hypothetical belief untuk masturbasi muncul ?. Di sini Scarborough nampak buntu, apalagi saya.

Oleh karenanya saya lebih berpendapat bahwa selain belief yang muncul karena pendidikan moral dari lingkungan dan yang sifatnya hipotetis, masih ada lagi satu belief yakni yang berdasar moral namun sifat kemunculannya natural, alamiah, datang dengan sendirinya. Why ?. Manusia lahir tidak seperti kata John Locke yaitu bak kertas kosong (tabularasa). Kita lahir dengan membawa blue print tertentu yang sama untuk semua manusia, dari dulu hingga sekarang. Inilah yang biasa disebut dengan Insting. Psikoanalisa berpendapat insting itu ada, Psikoanalitik juga sama, Behaviorisme mengamininya, Humanisme juga mufakat. Nampaknya semua aliran madzhab tidak ada yang bersilang pendapat soal insting. Sayangnya belum ada yang merinci insting apa saja yang dibawa oleh seorang manusia sebagai blue print dirinya untuk berperilaku.

Adakah insting moral ?

Secara hipotetikal, saya berpendapat ada. Jangankan soal moral, dalam hal sosial saja di mana individu lebih menyukai orang yang ganteng/cantik untuk dijadikan teman, sahabat dan/atau pasangan hidup, peneliti menemukan fakta bahwa itu ternyata sebuah insting bukan merupakan hasil proses sosial-budaya seperti yang selama ini dipegang (Langlois dan Roggman, 1990). Pada kasus-kasus orang yang hidup kembali (mati suri) setelah dikubur, konon hasil galian orang tersebut sangat mirip 100 % dengan pola galian tikus mondo (tikus tanah). Kenapa secara otomatis tergerak untuk menggali keluar kubur dan ajaibnya hasil galian mirip hasil galian hewan tikus ? Para ahli lebih senang menyebutnya sebagai insting. Kenapa orang harus punya agama bahkan ada orang yang sengaja menciptakan aliran agama versinya sendiri ? Lagi-lagi itu adalah insting (Rudolf Otto). Ada banyak insting pada diri kita, tidak menutup kemungkinan kalau begitu jika insting moral itu ada. Bila kita sambungkan dengan apa kata agama (dalam hal ini Islam), dari mana lagi insting itu berada kalau bukan merupakan “bekal” dari Allah SWT untuk manusia dalam menjalani hidupnya di dunia (di antaranya tersirat di QS. Al-Araf : 171-172).

Apakah semua penjelasan ini ialah hasil keterbatasan pikiran saya yang mengada-ada ?

Ah, itu sih terserah penilaian anda.



No comments:

Post a Comment