Heraclites dari Ephesus berpendapat bahwa semua yang ada dan terjadi di dunia itu selalu berubah, tidak ada yang konstan, semuanya terus mengalir bagai arus sungai. Setahu saya, filosof abad 5 sebelum masehi ini adalah orang pertama yang memunculkan pemikiran bahwa kendatipun fenomena alam terus berubah, pasti ada semacam kesatuan hukum universal yang dapat menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi tersebut. Kesatuan hukum universal itu ia sebut dengan logos, dan logos ini sifatnya tetap, tidak berubah. Contohnya, kendatipun waktu terus bergulir, dari pagi-siang-sore-malam-shubuh-pagi, dalam satu hari jumlah waktu tetap 24 jam. Hukum ini berlaku di belahan dunia manapun.
Socrates dari Athena bersilang pendapat dengan kaum sophis mengenai moral dan etika. Protagoras (akhir abad 4 SM) mewakili kaum sophis, menyatakan bahwa “manusia itu adalah ukuran dari segala sesuatu”. Artinya, tidak ada prinsip moral dan etika yang sama untuk setiap umat manusia, hal ini tergantung dari budaya tempat mereka tinggal. Contohnya, di Indonesia, sampai sekarang free sex masih dianggap sebagai suatu hal yang tabu, perbuatan asusila, namun lain halnya di Amerika yang menganggap lumrah perbuatan seks bebas ini. Socrates meneriakkan pemikiran yang berbeda. Ia berpendapat bahwa pasti ada prinsip moral-etika yang universal, berlaku untuk setiap manusia, di manapun ia berada. Prinsip universal ini adanya di hati nurani. Sebagai contoh, baik di Indonesia maupun di negara Amerika bahkan di seluruh penjuru dunia, tindak pencurian sama-sama dipandang tindak kriminal.
Plato, murid langsung dari Socrates memiliki ketertarikan berbeda dengan gurunya. Ketika Socrates tertarik untuk meneliti “kebenaran universal”, Plato lebih berminat untuk menemukan “hukum universal”. Sama halnya dengan Heraclites, Plato mencoba menemukan hukum-hukum baku yang relatif menetap yang dapat menjelaskan fenomena-fenomena di dunia. Oleh karenanya Plato senang akan matematika, karena sistem pengkodean angka dan rumus-rumus angka sifatnya tetap. Contohnya, mau dimanapun dan sampai kapanpun, jumlah derajat sudut segitiga tetap akan 180 derajat.
Ketika mencoba mempelajari macam-macam pemikiran filsafat tentang prinsip universal seperti di atas, kebetulan saya melihat liputan tentang acaranya Djarum Black, yakni Autoblackthrough. Muncullah pikiran di benak saya bahwa sepertinya ada persoalan yang tak mungkin memiliki prinsip universal, misalnya dalam hal seni. Apa pasal sampai seni tidak mungkin memiliki prinsip universal ?
Seni itu suatu ungkapan perasaan dan pemikiran. Wujudnya dapat dinikmati oleh orang lain. Tentu saja tidak semua orang dapat menikmati suatu bentuk seni yang sama. Itu tergantung dengan selera seni masing-masing individu. Sesuatu bentuk seni dapat dikatakan bagus, hebat, mutakhir, luar biasa, indah, tergantung dari siapa yang menilainya. Dalam hal ini maksudnya tentu saja merujuk kepada orang yang seleranya cocok. Seperti makanan saja, tidak ada yang universal, tergantung lidah dan selera. Kata orang barat; “keju itu enak”, tapi kata orang sini; “keju itu enek”.
Apa yang membuat seni tidak universal ialah karena seni itu ternyata terpecah-pecah oleh kasta (kelas) sosial. Dangdut secara fakta lebih disenangi oleh kalangan rakyat kecil, musik Jazz diklaim sebagai musiknya kalangan elit dan terpelajar. Gemulai Tari Jaipong dapat dinikmati kalangan orang tua, tapi anak muda “alergi” karena lebih senang modern dance dan break dance. Autoblackthrough yang menampilkan mobil-mobil modifikasi ratusan juta rupiah dinilai indah bagi pihak yang cukup berduit untuk melakukannya, namun golongan rakyat kecil lebih menikmati menghias gapura desa yang dananya hasil patungan dan inipun hanya setahun sekali dilakukan, yakni saat 17 Agustusan.
Dalam seni, selain tidak universal, antar masing-masing kelompok juga sangat mungkin memiliki penilaian negatif satu sama lain. Yang tidak suka Dangdut mengatakan bahwa musik dangdut dan penikmatnya itu kampungan, adapun yang suka dangdut menilai kalau yang suka musik Jazz itu biasanya orang-orangnya belagu (sok paling tahu) soal musik. Anak muda menilai suka sama tari tradisonal itu gak gaul, sedangkan orang tua menilai anak muda zaman sekarang itu tidak mau tahu akan akar budayanya sendiri. Tidak menutup kemungkinan ada pihak-pihak yang menilai kalau penyelenggaraan Autoblackthrough itu tidak sensitif kondisi sosial masyarakat sekarang, tidak jauh beda dengan perilaku pemerintah yang main ganti mobil dinas menteri dan pejabat negara dengan sedan mewah milyaran rupiah.
No comments:
Post a Comment