Judul : Orang-Orang Proyek
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama (cetakan
pertama, 2007)
Tebal : 224 halaman
Ibarat jalan maka deskripsi yang pas untuk novel ini adalah
lurus nan datar. Itu dari segi alurnya. Tidak ada yang menarik apa lagi spesial
dalam jalan cerita “Orang-Orang Proyek.” Semua yang kita baca adalah dinamika
kehidupan sehari-hari yang sangat biasa. Lumrah, wajar, lazim... apa lagi ?. Jika
dirangkum dalam sebuah kalimat, ke-biasa-an novel ini dapat diungkapkan
melalui; “Ya memang seperti itu lah kehidupan.”
Orang yang menemukan ketidak-sreg-an di tempat kerja lantas memilih mengundurkan diri seperti Kabul (tokoh utama) bukan fenomena luar biasa. Ada juga orang yang seperti Kades Basar, terjebak dalam ketidakberesan, mau mengundurkan diri tak sampai hati, mau melakukan perubahan belum cukup nyali. Akhirnya mengikuti kebiasaan-kebiasaan salah yang sudah ada walau hati menjerit. Hal itu juga bukan cerita aneh. Demikian pula kisah cinta lokasi Kabul dengan anak buahnya sendiri, Wati. Ah sudah sangat umum.
Sempat terpikir oleh resensator bila di akhir-akhir buku ini akan
terjadi kejutan-kejutan. Misal, akhirnya Kades Basar memutuskan untuk melepas
jabatan Kades dan lebih memilih untuk memelihara jiwa kritisnya sebagai eks-aktifis mahasiswa. Nyatanya tidak. Atau mungkin jembatan yang penyelesaiannya
dikejar tayang demi kepentingan kampanye, belum lagi kualitasnya yang di bawah
standar mutu karena anggaran bocor sana-sini, ambruk tepat di depan mata para
pejabat yang menghadiri pesta kampanye. Tidak ada juga. Mungkin Kabul setelah
mengundurkan diri, ia kemudian mengikuti atau bahkan membentuk lembaga swadaya
pengawas pemerintahan agar cita-cita politiknya bisa terlampiaskan. Sama sekali
tidak. Kabul dikisahkan mendapat pekerjaan baru di proyek swasta dan tamatlah
sudah cerita satu buku. Itu saja.
Benar-benar-benar-benar datar. Lihat, saking ingin saya
menekankan dan meyakinkan bahwa cerita di buku ini datar, sampai berlebihan
mengulang kata pengulangan. Ahmad Tohari
sedikitpun tidak berupaya mencampurkan bahan-bahan dramatisasi.
Padahal itu penting lho
bagi umumnya orang Indonesia. Tengoklah sinetron-sinetron kita, yang
digandrungi ialah yang semakin panjang (walau esensi dan logika ceritanya
semakin ngawur). Novel ini tidak
menyentuh karakter umum orang-orang kita; yang sepele dibesar-besarkan. Ahmad
Tohari tidak membuat tanjakan, turunan atau tikungan tajam sehingga seperti
yang saya katakan dari awal; “Ibarat jalan, lurus nan datar.”
Novel ini memang sejatinya bukan untuk dinikmati ceritanya.
Ahmad Tohari lebih mengajak kita untuk menyerapi isinya. Kata “proyek” yang
bertebaran mulai dari judul sampai ujung cerita mewakili kata-kata lain yang
maknanya lebih besar, yakni; “budaya korupsi.” Ketika dikatakan korupsi,
biasanya yang terbayang di pikiran kita adalah begundal-begundal berdasi yang
muncul di televisi dalam busana jaket oranye KPK. Padahal korupsi tidak mesti
dan tidak selalu sebesar serta seterekspos itu. Utamanya, sering tidak kita
sadari bahwa kita ini juga pelaku korupsi, koruptor dan oleh karenanya turut
menyumbang peranan pada langgengnya budaya korupsi.
Kita datang ke Kantor Desa, urus surat-suratan. Padahal
sama-sama paham antara kita dengan aparat desa bahwa layanan tersebut gratis.
Faktanya, kalau tidak kita sodor “uang terima kasih,” sering kali aparat desa
jadi cemberut bahkan mengulur-ulur pekerjaan. Toh berapa banyak dari kita yang memprotes hal itu ?. Kebanyakan
kita menerima saja karena tidak ingin ribet,
sehingga perbuatan tersebut menjadi sebuah kebiasaan. Bukankah itu korupsi ?.
Kita datang ke Kantor Polisi, urus pembuatan SIM. Tidak mau susah ikut
prosedur, kita cari-cari polisi yang mau diklaim sebagai oknum. Tarifnya pun
tentu melambung karena sudah di luar jalur resmi. Kita senang, Polisi senang.
Bukankah itu korupsi ?. Anak-anak kita melamar ke perguruan tinggi. Pesimis
berhasil dari persaingan yang melibatkan puluhan ribu orang, kita tunggu pihak
kampus membuka jalur khusus. Anak kita tetap diberi serangkaian tes seleksi
tapi tes yang sebenarnya justru ditujukan kepada para orang tua; “Sanggup setor ‘uang
pembangunan’ berapa ?.” Bukankah itu korupsi ?.
Pun demikian dengan kata “Orang-orang” yang menempel dengan
“Proyek” pada judul novel. Tidak sekedar merujuk kepada insan-insan perusahaan, birokrat dan
aparat keamanan-militer. Akan tetapi maknanya meluas, seluas ketika kata
“orang-orang” itu berdiri sendiri. Lebih tepatnya, kata “orang-orang” tersebut
merujuk kepada kita; masyarakat Indonesia pada umumnya.
Jadi, judul novel “Orang-orang Proyek” ini sebetulnya,
aslinya, berbunyi; “Budaya Korupsi Pada Masyarakat Indonesia.” Barang kali
karena jika bunyi judulnya demikian tentu sangat tidak menjual dan khawatir
nanti orang tidak mengira bahwa buku ini adalah novel, maka Ahmad Tohari
menyembunyikan kegamblangannya.
Sesungguhnya masalah budaya korupsi ini juga bukan perkara
yang wah, baru, janggal, luar biasa. Hal tersebut sudah menjadi bagian dari
keseharian kita, sudah teramat biasa. Soal korupsi sudah menjadi fenomena “tahu
sama tahu.” Jadi, apa yang aneh ?. Tidak ada. Maka dari segi isipun, kalau
dinilai secara fair, justru semakin
mengokohkan penilaian atas novel ini yang lurus mendatar.
Jadi, apa nilai lebih buku ini sampai diterbitkan oleh
penerbit kakap sekelas Gramedia ?. Karena selingan kisah asmara Kabul dan Wati
?. Rasa-rasanya bukan. Karena kejutan penulis – yang hambar – tentang Yos (mantan pacar Wati) yang justru menjalin kasih dengan adiknya Kabul ?. Bukan
juga. Sedikit bumbu tentang Bejo yang terindikasi homoseksual lantaran hubungan
dekatnya dengan banci proyek, Tante Ana ?. Apa lagi hal itu, tentu sangat
bukan.
Bagi saya, keistimewaan novel ini terletak pada satu
pertanyaan prinsipil yang terselubung di sekujur badan novel, dari muka sampai
akhir, yaitu; “Lalu mau mulai dari mana saya, anda, kita merombak budaya
korupsi yang kadung melekat kuat pada diri saya, anda, kita, masyarakat
Indonesia ?.”
Di titik ini, saya berdecak takjub dan berterima kasih pada Ahmad
Tohari.
Mari kita renungkan.
Di mana bisa anda dapatkan buku ini
?
Orang-Orang Proyek dapat anda peroleh dengan belanja on line via situs :
www.FOboekoe.blogspot.com. Pemesanannya sangat mudah dengan pelayanan yang
ramah dan terbuka. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk begitu melekat dengan nama
Ahmad Tohari. Bagi para pecinta baca, tentu akan sangat menarik untuk
membaca-baca karya lain dari seorang penulis selain karyanya yang paling
terkenal. Orang-Orang Proyek ini menjadi salah satu karya yang mengukuhkan cap
atas Ahmad Tohari sebagai penulis novel profetik.
No comments:
Post a Comment