Tuesday, June 2, 2015

ORANG-ORANG KORUP



Judul          : Orang-Orang Proyek
Penulis       : Ahmad Tohari
Penerbit     : PT. Gramedia Pustaka Utama (cetakan pertama, 2007)
Tebal          : 224 halaman

          Ibarat jalan maka deskripsi yang pas untuk novel ini adalah lurus nan datar. Itu dari segi alurnya. Tidak ada yang menarik apa lagi spesial dalam jalan cerita “Orang-Orang Proyek.” Semua yang kita baca adalah dinamika kehidupan sehari-hari yang sangat biasa. Lumrah, wajar, lazim... apa lagi ?. Jika dirangkum dalam sebuah kalimat, ke-biasa-an novel ini dapat diungkapkan melalui; “Ya memang seperti itu lah kehidupan.”


         Orang yang menemukan ketidak-sreg-an di tempat kerja lantas memilih mengundurkan diri seperti Kabul (tokoh utama) bukan fenomena luar biasa. Ada juga orang yang seperti Kades Basar, terjebak dalam ketidakberesan, mau mengundurkan diri tak sampai hati, mau melakukan perubahan belum cukup nyali. Akhirnya mengikuti kebiasaan-kebiasaan salah yang sudah ada walau hati menjerit. Hal itu juga bukan cerita aneh. Demikian pula kisah cinta lokasi Kabul dengan anak buahnya sendiri, Wati. Ah sudah sangat umum.

          Sempat terpikir oleh resensator bila di akhir-akhir buku ini akan terjadi kejutan-kejutan. Misal, akhirnya Kades Basar memutuskan untuk melepas jabatan Kades dan lebih memilih untuk memelihara jiwa kritisnya sebagai eks-aktifis mahasiswa. Nyatanya tidak. Atau mungkin jembatan yang penyelesaiannya dikejar tayang demi kepentingan kampanye, belum lagi kualitasnya yang di bawah standar mutu karena anggaran bocor sana-sini, ambruk tepat di depan mata para pejabat yang menghadiri pesta kampanye. Tidak ada juga. Mungkin Kabul setelah mengundurkan diri, ia kemudian mengikuti atau bahkan membentuk lembaga swadaya pengawas pemerintahan agar cita-cita politiknya bisa terlampiaskan. Sama sekali tidak. Kabul dikisahkan mendapat pekerjaan baru di proyek swasta dan tamatlah sudah cerita satu buku. Itu saja.
          Benar-benar-benar-benar datar. Lihat, saking ingin saya menekankan dan meyakinkan bahwa cerita di buku ini datar, sampai berlebihan mengulang kata pengulangan.  Ahmad Tohari sedikitpun tidak berupaya mencampurkan bahan-bahan dramatisasi.
          Padahal itu penting lho bagi umumnya orang Indonesia. Tengoklah sinetron-sinetron kita, yang digandrungi ialah yang semakin panjang (walau esensi dan logika ceritanya semakin ngawur). Novel ini tidak menyentuh karakter umum orang-orang kita; yang sepele dibesar-besarkan. Ahmad Tohari tidak membuat tanjakan, turunan atau tikungan tajam sehingga seperti yang saya katakan dari awal; “Ibarat jalan, lurus nan datar.”
          Novel ini memang sejatinya bukan untuk dinikmati ceritanya. Ahmad Tohari lebih mengajak kita untuk menyerapi isinya. Kata “proyek” yang bertebaran mulai dari judul sampai ujung cerita mewakili kata-kata lain yang maknanya lebih besar, yakni; “budaya korupsi.” Ketika dikatakan korupsi, biasanya yang terbayang di pikiran kita adalah begundal-begundal berdasi yang muncul di televisi dalam busana jaket oranye KPK. Padahal korupsi tidak mesti dan tidak selalu sebesar serta seterekspos itu. Utamanya, sering tidak kita sadari bahwa kita ini juga pelaku korupsi, koruptor dan oleh karenanya turut menyumbang peranan pada langgengnya budaya korupsi.
          Kita datang ke Kantor Desa, urus surat-suratan. Padahal sama-sama paham antara kita dengan aparat desa bahwa layanan tersebut gratis. Faktanya, kalau tidak kita sodor “uang terima kasih,” sering kali aparat desa jadi cemberut bahkan mengulur-ulur pekerjaan. Toh berapa banyak dari kita yang memprotes hal itu ?. Kebanyakan kita menerima saja karena tidak ingin ribet, sehingga perbuatan tersebut menjadi sebuah kebiasaan. Bukankah itu korupsi ?. Kita datang ke Kantor Polisi, urus pembuatan SIM. Tidak mau susah ikut prosedur, kita cari-cari polisi yang mau diklaim sebagai oknum. Tarifnya pun tentu melambung karena sudah di luar jalur resmi. Kita senang, Polisi senang. Bukankah itu korupsi ?. Anak-anak kita melamar ke perguruan tinggi. Pesimis berhasil dari persaingan yang melibatkan puluhan ribu orang, kita tunggu pihak kampus membuka jalur khusus. Anak kita tetap diberi serangkaian tes seleksi tapi tes yang sebenarnya justru ditujukan kepada para orang tua; “Sanggup setor ‘uang pembangunan’ berapa ?.” Bukankah itu korupsi ?.
          Pun demikian dengan kata “Orang-orang” yang menempel dengan “Proyek” pada judul novel. Tidak sekedar merujuk kepada insan-insan perusahaan, birokrat dan aparat keamanan-militer. Akan tetapi maknanya meluas, seluas ketika kata “orang-orang” itu berdiri sendiri. Lebih tepatnya, kata “orang-orang” tersebut merujuk kepada kita; masyarakat Indonesia pada umumnya.
          Jadi, judul novel “Orang-orang Proyek” ini sebetulnya, aslinya, berbunyi; “Budaya Korupsi Pada Masyarakat Indonesia.” Barang kali karena jika bunyi judulnya demikian tentu sangat tidak menjual dan khawatir nanti orang tidak mengira bahwa buku ini adalah novel, maka Ahmad Tohari menyembunyikan kegamblangannya.
          Sesungguhnya masalah budaya korupsi ini juga bukan perkara yang wah, baru, janggal, luar biasa. Hal tersebut sudah menjadi bagian dari keseharian kita, sudah teramat biasa. Soal korupsi sudah menjadi fenomena “tahu sama tahu.” Jadi, apa yang aneh ?. Tidak ada. Maka dari segi isipun, kalau dinilai secara fair, justru semakin mengokohkan penilaian atas novel ini yang lurus mendatar.
          Jadi, apa nilai lebih buku ini sampai diterbitkan oleh penerbit kakap sekelas Gramedia ?. Karena selingan kisah asmara Kabul dan Wati ?. Rasa-rasanya bukan. Karena kejutan penulis – yang hambar – tentang Yos (mantan pacar Wati) yang justru menjalin kasih dengan adiknya Kabul ?. Bukan juga. Sedikit bumbu tentang Bejo yang terindikasi homoseksual lantaran hubungan dekatnya dengan banci proyek, Tante Ana ?. Apa lagi hal itu, tentu sangat bukan.
          Bagi saya, keistimewaan novel ini terletak pada satu pertanyaan prinsipil yang terselubung di sekujur badan novel, dari muka sampai akhir, yaitu; “Lalu mau mulai dari mana saya, anda, kita merombak budaya korupsi yang kadung melekat kuat pada diri saya, anda, kita, masyarakat Indonesia ?.” 
          Di titik ini, saya berdecak takjub dan berterima kasih pada Ahmad Tohari.
          Mari kita renungkan.

Di mana bisa anda dapatkan buku ini ?
Orang-Orang Proyek dapat anda peroleh dengan belanja on line via situs : www.FOboekoe.blogspot.com. Pemesanannya sangat mudah dengan pelayanan yang ramah dan terbuka. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk begitu melekat dengan nama Ahmad Tohari. Bagi para pecinta baca, tentu akan sangat menarik untuk membaca-baca karya lain dari seorang penulis selain karyanya yang paling terkenal. Orang-Orang Proyek ini menjadi salah satu karya yang mengukuhkan cap atas Ahmad Tohari sebagai penulis novel profetik.

No comments:

Post a Comment