Monday, February 2, 2015

SI TOLOL, BODOH, SINTING, LEMAH AKAL JOSEF SCHWEIK



Judul                : Prajurit Schweik (The Good Soldier Svejk)
Penulis             : Jaroslav Hasek
Penerjemah      : Djokolelono
Penerbit            : Pustaka Jaya (cetakan ketiga, 2008)
Jumlah halaman : 279

                Begitu selesai membaca buku ini dan saya (resensator) berniat untuk membuat ulasan tentangnya, segera saya menjadi bingung; “Mau mulai dari mana ?.” Dari gaya satire-nya ?. Ah, saya tak pandai dalam menelisik apa lagi menilai gaya bersastra. Dari muatan sejarahnya ?. Ah, saya tak punya sedikitpun petunjuk mengenai sejarah Eropa. Dari sudut pandang sosial-politiknya ?. Beuh, menyebut kata ‘sosial-politiknya’ saja sudah cukup membuat kepala saya pusing. Saya tahunya cuma baca saja, membuka halaman demi halaman buku ini sampai tamat sembari mencoba menikmatinya betul-betul.
               
                Untungnya, waktu sekolah dulu pernah diajarkan tentang unsur-unsur intrinsik dari sebuah sastra. Sedikit banyak saya punya kerangka, meskipun itu sederhana, untuk mengupas Prajurit Schweik. Dan mari kita mulai hal itu dari unsur pertokohan dan wataknya.
                Ada berapa banyak tokoh dalam Prajurit Schweik ?.
                Banyak.
                Mungkin, kalau dihitung dengan teliti, ada lebih dari 30 tokoh yang berseliweran di halaman-halaman buku. Mulai dari yang jelas-jelas disebut namanya sampai yang tidak, mulai dari yang sekedar numpang lewat sampai nama-nama yang menjadi tokoh utama dalam cerita. Mengenai tokoh utama ini pun sering berganti-ganti di sepanjang 22 sub-bab cerita, sehingga pada akhirnya benar-benar hanya nama Schweik yang berhasil melekat. Betapapun tokoh-tokoh datang silh berganti, Hasek selalu menggunakan karakter yang sama dan konsisten. Siapapun namanya, entah Pendeta Otto Katz atau satu pendeta lagi yang saya lupa namanya dan satu pendeta lainnya yang memang tidak disebut siapa ia punya nama, watak mereka selalu sama; sebetulnya pendeta juga orang-orang brengsek sama seperti jemaat kebanyakan. Pendeta juga doyan mabuk-mabukan, judi bahkan main wanita, begitulah Hasek menggambarkan. Di halaman berapapun muncul tokoh ber-ras Yahudi, sifatnya selalu sama; hitung-hitungan dan pelit !. Siapapun nama dan pangkatnya, yang namanya perwira militer tulen perilakunya sama saja; feodal, sok ningrat, suka mem-budak-kan bawahan. Di lain pihak, para tentara cadangan, perwira sukarelawan ialah warga-warga yang selalu mementingkan kebutuhan pribadi, jangankan memikirkan kepentingan negara, berbuat sebaik mungkin untuk resimen, kompi, batalyon atau apapun itu kelompok militer tempat mereka berada, tidak becus. Adapun polisi selalu ditonjolkan sebagai sekumpulan orang-orang sok pintar dan sukanya cari muka.
                Dalam hal penokohan ini, Hasek benar-benar menjadikan stereotype dari kelompok orang tertentu sebagai watak utama tokoh-tokohnya. Misal seperti tadi, karena orang Yahudi itu terkenalnya dengan sifat pelit, maka setiap muncul tokoh berlatar belakang Yahudi, pasti punya karakter pelit. Stereotype itu jarang yang menonjolkan sifat positif, jadi tak perlu heran bila sepanjang membaca buku ini, hampir semua tokoh tidak ada yang beres pencitraannya.
                Kemudian dari sisi alur penceritaan. Jika hal tersebut dikaitkan dengan unsur humor yang ada, saya secara pribadi merasa bahwa tensi humor mulai meningkat pada sub-bab “Schweik di Tangsi Tahanan.” Ini lah awal mula Schweik bertemu dengan Pendeta Katolik berdarah Yahudi bernama Otto Katz. Sebuah pertemuan yang mengantarkan Schweik bertemu dengan pejabat-pejabat militer lain seperti Letnan Lukash, Kolonel Schroder, Letnan Dub dan banyak lagi, lantas mendampingi mereka sampai front peperangan. Dari sini gelombang humor seolah mengalir tak ada habisnya, paragraf demi paragraf terjalin menciptakan ketololan demi ketololan. Ada yang harus dibaca pelan-pelan baru kita bisa tertawa dan ada pula yang begitu mudah dicerna serta langsung menyentuh saraf tawa. Agaknya terlalu berlebihan jika saya menjamin anda akan tertawa terpingkal-pingkal apa lagi sampai terguling-guling demi mendapati kedunguan-kedunguan di Prajurit Schweik. Kalau sampai tersenyum lebar-lebar saja, berani saya jaminkan, sebab humor-humor Prajurit Schweik, kendatipun disampaikan dalam cara yang memaki-maki, menghina, kasar, tetap mengandung makna-makna yang mendalam.
                Apa saja makna-makna yang mendalam tersebut ?
                Banyak.
                Lebih banyak dari yang berhasil saya pahami, ingat dan sebutkan berikut ini : tentang bagaimana sengsaranya hidup dalam kebebasan beropini yang dikekang, tentang perilaku pejabat-pejabat publik (diwakili oleh militer dan polisi di buku ini) yang lebih menonjolkan eksklusiftas strata pangkat dibanding menjadi tauladan masyarakat sehingga menjadi berbanding terbalik antara kelakuan dengan status jabatan, tentang kegagalan membangkitkan rasa nasionalisme di hati rakyat, tentang peran agama dalam melegalkan bahkan mendorong peperangan, tentang mudahnya orang-orang bertikai atas isu yang berbau sukuisme, tentang arti keadilan di mata hukum sampai mengenai kebijakan dan strategi sebuah pemerintahan dalam menyiapkan seluruh warganya jika suatu saat harus menghadapi situasi perang. Saya yakin karya ini masih menyimpan banyak makna lagi dan hal tersebut bukan karena Prajurit Schweik ialah karya yang multitafsir, akan tetapi memang buku ini menyajikan pesan yang kaya. Sekaya dan sekompleks situasi yang muncul akibat peperangan.
                Bagaimana dengan Schweik itu sendiri, subjek dan objek utama dalam buku ini ?. Ah, Schweik sendiri tidak lebih dari seorang jelata yang bodoh dan konyol. Tidak menarik untuk membahas Josef Schweik, sebab dengan deskripsi singkat seperti yang saya tulispun; ‘bodoh dan konyol’, kiranya sudah cukup tergambar. Untuk apa panjang-panjang membahas Schweik yang lantaran kedunguannya sendiri akhirnya ditangkap oleh sesama pejuang Austria karena disangka tentara lawan ?. Yang menarik adalah peristiwa-peristiwa berikut orang-orang di dalamnya yang Schweik jumpai. Peristiwa dan orang yang dapat merangsang kita untuk berpikir lebih jauh di balik senyum-senyum lebar. Sebab itulah mungkin, karya Hasek ini, berdasar beberapa sumber yang saya telusuri, sangat dipuja-puja sebagai salah satu karya sastra satire fenomenal di dunia ini.
                Apa lagi ?
                Sungguh di pikiran ini masih ingin menyampaikan banyak hal tentang Schweik. Saking banyaknya sampai saya bingung sendiri. Dibingungkan oleh seorang tolol semacam Schweik !.
                Apa lagi ?
                Itu saja, dan hanya itu. Kukira cukup sudah. (dikutip dari kalimat terakhir ‘Kata Pengantar Pengarang,’ halaman 7)

Di mana bisa anda dapatkan buku ini ?
            Prajurit Schweik dapat anda peroleh dengan belanja on line via situs : www.FOboekoe.blogspot.com. Pemesanannya sangat mudah dengan pelayanan yang ramah dan terbuka. Kalaupun anda merasa gagal ketawa dengan humornya Hasek, anda tidak perlu merasa amat menyesal telah membeli buku Prajurit Schweik. Siapa tahu anda punya umur, rejeki dan kesempatan lebih untuk berkunjung ke Ceko, khususnya ke Kota Lipnice, tempat monumen Hasek berdiri. Anda bisa bangga berkata; “Saya sudah baca dan bahkan punya buku dari orang yang dibuatkan patungnya ini !.”

1 comment: